Pertama perlu ditegaskan bahwa saya
membuat perbedaan prinsipil antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme
adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi tersendiri dan lepas
dari agama. Inti sekularisme ialah penolakan adanya kehidupan lain di luar
kehidupan duniawi ini. Dari perspektif Islam, sekularisme adalah
perwujudan modern dari paham dahrîyah, seperti diisyaratkan dalam Al-Quran, Q.,45: 24: Mereka berkata, “Tiada sesuatu kecuali hidup duniawi kita saja— kita mati dan kita hidup—dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.” Tapi, mereka sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Mereka hanyalah menduga-duga saja. Jadi jelas, sekularisme tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam.
perwujudan modern dari paham dahrîyah, seperti diisyaratkan dalam Al-Quran, Q.,45: 24: Mereka berkata, “Tiada sesuatu kecuali hidup duniawi kita saja— kita mati dan kita hidup—dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.” Tapi, mereka sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Mereka hanyalah menduga-duga saja. Jadi jelas, sekularisme tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam.
Sementara itu, sekularisasi memang
dapat diartikan sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan
implikasi paling kuat ide pemisahan (total) agama dari negara. Tapi, ini
bukanlah satu-satunya arti istilah sekularisasi. Arti lain nya ialah yang
bersifat sosiologis, bukan filosofis, seperti yang digunakan oleh Talcott
Parsons dan Robert N. Bellah. Parsons menunjukan bahwa sekularisasi, sebagai suatu
bentuk proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan kepada pengertian
pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya.
Hal ini tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dari nilai
kemasyarakatan itu. Bahkan, proses pembebasan dari takhayul itu bisa
semata-mata terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan logis dari suatu
bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme. Ini menjadi pandangan Robert
N. Bellah, misalnya ketika ia mengemukakan ciri-ciri masyarakat Islam Klasik
(zaman Nabi dan Al-Khulafâ’ Al-Rasyidûn) yang ia nilai sebagai sebuah
masyarakat modern. Bellah menyebutkan beberapa unsur struktural Islam Klasik
yang relevan dengan argumennya (bahwa Islam Klasik itu modern), yaitu
monoteisme yang kuat, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, devaluasi
radikal, atau sekularisasi pranata kesukuan Arab Jahiliyah, dan, akhirnya,
sistem politik demokratis. Untuk jelasnya, mengenai sekularisasi itu, ia mengatakan
bahwa Islam Klasik telah melakukan “devaluasi radikal dan orang dibenarkan
menyebutnya sekularisasi atas semua struktur sosial yang ada berhadapan dengan hubungan
antara Allah dan manusia yang sentral itu. Di atas segalanya, hal ini berarti pencopotan
pranata kesukuan atau perkeluargaan (kinship), yang telah menjadi pusat kesucian
Arabia sebelum Islam, dari makna sentralnya”. Dengan kata lain, proses “devaluasi
radikal” atau “sekularisasi”, dalam pandangan sosiologis Bellah, berpangkal
dari monoteisme yang antara lain berakibat penurunan nilai pranata kesukuan dan
perkeluargaan yang di zaman Jahiliyah pusat rasa kesucian hanya kepada Tuhan
Yang Maha Esa belaka.
Jadi, penggunaan kata “sekularisasi” dalam
sosiologi mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap pensucian
yang tidak pada tempatnya. Karena itu, ia mengandung makna desakralisasi, yaitu
pencopotan ketabuan dan kesakralan dari objek-objek yang semestinya tidak tabu
dan tidak sakral. Jika diproyeksikan kepada situasi modern Islam sekarang, maka
“sekularisasi”-nya Robert N. Bellah itu akan mengambil bentuk pemberantasan bid‘ah,
khurafat, dan praktik syirik lainnya yang kesemuannya itu berlangsung di bawah semboyan
kembali kepada Kitab dan Sunnah dalam usaha memurnikan agama. Maka saya pernah mengajukan
argumen bahwa sekularisasi serupa itu, seperti telah dikemukakan, berkenaan
dengan pandangan sosiologis Bellah, adalah konsekuensi dari tawhîd. Tawhîd sendiri
menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan, demi ridlâ-Nya, dan
hal ini, bagi sementara orang, justru merupakan bentuk sakralisasi kehidupan
manusia. Hal ini tidak salah, bahkan sesuai dengan pengertian sosiologis Bellah
tersebut—yang juga saya anut—sebab, pengertian itu mengandung makna pengalihan
sakralisasi dari suatu objek alam ciptaan (makhlûq) ke Tuhan Yang Maha Esa.
Pranata kesukuan, seperti disebut Bellah, hanyalah salah satu dan merupakan
yang terpenting dari rasa kesucian Jahiliyah. Tetapi sesungguhnya, orang-orang Arab
Jahiliyah yang mensucikan atau menyembah objek lain, kesemuanya itu, dalam
pandangan Islam, termasuk manifestasi politeisme
(syirik). Sedangkan yang Mahasuci hanyalah Tuhan (subhânallâh). Karena hanya
Tuhan yang sakral, maka seluruh kegiatan, untuk bisa mendapatkan maknanya yang
hakiki, harus hanya ditunjukan kepada-Nya semata, dengan implikasi orientasi
kegiatan demi kebenaran (al-Haqq), secara tulus dan ikhlas.
Tapi, meskipun pengertian
sosiologis sekularisasi itu sudah cukup banyak
digunakan para ahli ilmuilmu sosial, toh harus diakui bahwa masih tetap
terdapat kontroversi di sekitar istilah itu. Hal ini dicerminkan oleh adanya
perdebatan dan polemik di sekitar buku Harvey Cox, Secular City. Kesulitan
timbul dari kenyataan bahwa masa Enlightenment Eropa telah melahirkan filsafat
sekularisme sebagai suatu ideologi yang secara khusus bersemangat antiagama.
Karenanya, cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam makna sosiologisnya,
berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme filosofis. Inilah
yang agaknya menjadi dasar penolakan Pak Rasjidi atas penggunaan saya akan
istilah sekularisasi. Jika benar dugaan ini, maka keberatan Pak Rasjidi cukup
beralasan dan dapat diterima, yaitu jika sekularisasi memang tak mungkin lepas
dari sekularisme filosofis hasil masa
Enlightenment Eropa.
Kesimpulannya, terdapat perbedaan cukup
prinsipal antara pengertian “sekularisasi” secara sosiologis dan secara
filosofis. Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah “sekular”,
“sekularisasi” dan “sekularisme” itu, maka adalah bijaksana untuk tidak
menggunakan istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah
teknis lain yang lebih tepat dan netral.
Tag :
Cak Nur
0 Komentar untuk "Sekularisasi Bukan Sekularisme"