Pemimpin “Warisan”

Baru beberapa bulan memimpin negeri ini, sosok Jokowi sedikit banyak telah membuat berbagai kalangan kalang kabut akibat situasi politik yang terjadi. Mulai dari kebijakan menaikkan (2014) dan menurunkan (2015) BBM, hingga konflik berkepanjangan antara KPK dan Polri. Kebijakannya dalam mengambil keputusan dinilai oleh sebagian pakar tidak memihak rakyat dan cenderung mengundang kontroversi. Bahkan, tidak sedikit orang yang dahulu mendukung Jokowi untuk maju sebagai RI 1, kini mulai hilang kepercayaan, dan tidak jarang menarik dukungannya.

Pemimpin “Warisan”
Oleh: Ali Mahmudi
Pertanyaan yang muncul, sebenarnya apakah Jokowi bersalah sepenuhnya terhadap situasi ini, karena memang Jokowi tidak berkompeten? Atau ada faktor lain. Entahlah. Namun, masalah kepemimpinan Jokowi ini akan menarik jika dianalisa menggunakan model keterpilihan pemimpin dalam organisasi. Di dalam organisasi apapun, setidaknya ada dua model keterpilihan seorang menjadi pemimpin. Pertama, model anak tangga. Untuk sampai pada anak tangga tertinggi (baca: pucuk pimpinan), seseorang harus melewati satu persatu anak tangga yang harus didaki.

Anak tangga bisa tersebut bias dianalogikan sebagai tugas dan karier jabatan yang harus diselesaikan untuk menempa diri dan berproses di dalamnya. Dengan berproses pada anak tangga ini, dia akan memiliki pengalaman yang cukup untuk menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah. Setelah dirasa mampu melalui satu anak tangga, seseorang baru bisa melanjutkan ke anak tangga yang lebih tinggi dengan proses dan tugas yang lebih sulit. Begitu selanjutnya, hingga sampai pada anak tangga tertinggi.

Jika kita melihat karier politik Jokowi dengan model  pertama keterpilihan pemimpin di atas, tentu jenjang politik yang dilaluinya belum terselesaikan dengan sepenuhnya. Kita bisa flashback ketika beliau menjadi Walikota Solo. Karier politik beliau sebagai walikota Solo belum sepenuhnya tuntas. Namun, dengan cara “akseleratif”, Jokowi langsung melaju ke karier politik yang lebih tinggi, yaitu sebagai Gubernur DKI Jakarta. Begitu juga yang terjadi ketika dia menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, beliau melenggang maju sebagai Presiden di negeri ini, seketika.

Kedua, model kepemimpinan warisan. Dalam model kepemimpinan ini, sering terjadi pada keluarga kiai/ulama’ yang memiliki pesantren. Prinsipnya, jika seorang kiai meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak, sudah pasti anak tersebut akan mewarisi pesantren yang dimiliki oleh ayahnya. Entah anak tersebut sudah mampu atau belum dalam mengemban tugas yang diberikan, dia akan “terpaksa” meng-handle tugas-tugas yang ditinggalkan oleh ayahnya. Dalam model ini, seseorang yang dipaksa untuk menjalankan tugas yang diwariskan kepadanya, dengan sendirinya akan beradaptasi untuk survive pada tugas yang diembannya itu.

Pada prakteknya, dia tidak jarang akan jatuh bangun menjalankan semua tugas tersebut, karena pengalaman yang belum cukup untuk menghadapi permasalahan yang ada. Bahkan, mungkin saja dia akan jatuh tak bangun lagi (baca: menyerah), karena menghadapi suatu kasus, misalnya. Hal ini terjadi karena dia belum pernah menapaki anak tangga satu-persatu. Pada fase inilah, seseorang yang telah mendapatkan warisan kepemimpinan tersebut akan memunculkan segala daya dan upayanya agar mampu berdiri menyelesaikan tugas.

Dalam konteks Jokowi, teori kedua ini terdapat variabel yang kurang pas bahwa, kepemimpinan didapatkan dari warisan orang tua. Sebab, negara ini bukan negara dengan sistem Kerajaan. Selain itu pula, raw material keluarga Jokowi bukanlah keluarga pemimpin. Namun, ide dan analogi yang digunakan masih berguna. Kepemimpinan Jokowi bukan berasal dari capaian penyelesaian melewati anak tangga, juga bukan merupakan warisan dari orang tuanya. Namun, kepemimpinan yang didapatkan oleh Jokowi merupakan “pemberian yang disengaja”—dengan alasan memang momen yang pas, serta mengikuti selera masyarakat yang mengingkan sosok seperti Jokowi—dan setelah itu, dia begitu saja dicemplungkan dalam dunia politik yang lebih keras. Karena itulah, Jokowi menjadi pemimpin dengan model “warisan”.

Dalam prakteknya, tidak dimungkiri bahwa Jokowi akan melakukan trial and error dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, serta dalam mengambil kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari model kepemimpinan ”warisan” yang beliau dapatkan. Entah sampai kapan beliau akan melakukan trial and error, tergantung adaptasi beliau untuk survive. Semakin banyak beliau melakukan trial and error, semakin tinggi pula resiko yang akan diterimanya. Bahkan, kemungkinan besar kasus pengusulan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri adalah salah satu pola trial and error yang telah dilakukannya, meski pada akhirnya hampir menemukan jalan keluar dengan mengusulkan Komjen Badrodin Haiti sebagai Kapolri baru.

Agar tidak terjadi trial and error yang berkepanjangan, dibutuhkan orang-orang terdekat yang mempunyai integritas tinggi untuk memberikan saran dan masukan kepada Presiden Jokowi. Orang-orang terdekat inilah yang akan memberikan pertimbangan, bimbingan, dan jalan terang bagi wong Solo itu. Dengan adanya orang-orang terdekat ini, trial and error dapat semaksimal mungkin dikurangi. Integritas yang dimiliki oleh orang-orang terdekat –ring 1— ini, benar-benar harus terjaga. Minimal, mereka harus mempunyai kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional yang memadai. Selain itu, dibutuhkan juga sikap independensi (hanief) dalam diri mereka. Independensi etis, bahwa manusia selalu cenderung pada kebenaran, dan independensi finansial, mampu dalam hal finansial menghidupi diri sendiri, menjadi prasyarat orang-orang yang akan menjadi mursyid bagi Jokowi.

Meminjam adagium Alcuin (735-804) , “Vox Populi Vox Dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan), sudah sepantasnya kita selalu mendampingi Jokowi di setiap kebijakannya. Di samping itu, karena rakyat Indonesia sendirilah yang telah mewariskan kepemimpinan tertinggi di negeri ini kepada Jokowi, tugas kita sekarang adalah selalu mengawasi dan memberikan kritik dan saran kepada Bapak Presiden, agar selalu tegar berdiri mengemban tugasnya. Sehingga, trial and error yang selama ini dilakukan, ke depan dapat berkurang semaksimal mungkin. Dengan begitu, visi-misi Jokowi dalam membangun Indonesia bermartabat akan terwujud. Semoga!
Tag : Politik
1 Komentar untuk "Pemimpin “Warisan”"

Sebetulnya saya malas untuk mengomentari ini, namun dari selesai Pemilu sampai detik ini topik ini masih hangat.Saya bukan orang yang pro Jokowi, namun suka atau tidak pendukung atau bukan, seyogyanya semua bersatu padu untuk mendukung beliau demi kemaslahatan orang banyak.Bukan saatnya memperdebatkan hal yang tidak berguna tanpa memberikan solusi....so....semoga saja

Back To Top